Portal User - Monday, 25 January 2021

25923 x Dilihat

Haruskah PNS (Pelaku) Nikah Siri Dijatuhi Hukuman Disiplin

PNS sebagai merupakan teladan bagi masyarakat, sikap dan perilakunya menjadi contoh bagi masyarakat sekitarnya bahkan sampai kepada urusan yang sifatnya pribadi seperti perkawinan. Terkait Perkawinan PNS memiliki aturan main yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian Bagi PNS dan ketentuan ini merujuk pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Pada Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan disebutkan Perkawinan sebagaimana diatur dalam adalah, β€œikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.”

Secara umum Perkawinan dimaknai bukan sekedar ikatan sosial saja, namun juga suatu ikatan perjanjian hukum antar pribadi yang membentuk hubungan kekerabatan sekaligus pranata yang meresmikan/melegalkan hubungan antar pribadi yang biasanya intim dan seksual. Perkawinan dimaksudkan adalah untuk membentuk keluarga.

Di Indonesia masih banyak ditemukan masyarakat yang melakukan perkawinan siri dengan berbagai alasan. Pernikahan siri dimaknai sebagai pernikahan yang tidak di umumkan pada khalayak ramai, artinya pernikahan dilakukan secara agama sesuai dengan syarat dan rukun pernikahannya, namun tidak dinyatakan secara umum dan tidak dicatatkan di hadapan Negara, singkatnya hanya dilakukan secara agama saja. Pernikahan siri tidak didaftarkan/dicatatkan pada KUA ataupun Catatan Sipil sehingga perkawinan siri tidak mempunyai legalitas formal dalam hukum positif sebagaimana yang diatur dalam UU perkawinan No.1 Tahun 1974, sehingga perkawinan siri dinilai bukan merupakan pernikahan yang sah.

Bagaimanakah suatu pernikahan dianggap sah ?

Pasal 2 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyebutkan bahwa β€œPerkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”. Dalam pasal yang sama ayat (2) mewajibkan agar setiap perkawinan dicatatkan agar mendapatkan akta perkawinan atau surat nikah. Pencatatan perkawinan yang berhubungan dengan akibat hukum dalam hukum nasional merupakan persoalan yang belum tuntas sampai sekarang, khususnya mengenai sah tidaknya perkawinan (tanpa dicatatkan).

Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan telah menimbulkan ambiguitas dalam memaknai Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan, karena pencatatan yang dimaksud oleh Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan tidak ditegaskan secara detail, maksud dari pencatatan tersebut. Akibat hal ini, menimbulkan 2 (dua) penafsiran atas kewajiban pencatatan tersebut, pertama pencatatan tersebut hanya bersifat administratif yang tidak berpengaruh terhadap sah atau tidaknya perkawinan yang telah dilangsungkan menurut agama atau kepercayaan masing-masing, kedua pencatatan tersebut berpengaruh terhadap sah atau tidaknya perkawinan yang dilakukan. Pasal ini telah menjadi polemik di kalangan ahli hukum, yaitu sebagian berpendapat bahwa kedua ayat itu adalah berkait satu sama lain atau tidak bisa dipisahkan, sebagian yang lain berpendapat bahwa pasal tersebut terpisah atau merupakan dua perintah yang berbeda.

Hemat penulis, Perkawinan merupakan peristiwa hukum yang ditentukan oleh agama dan kepercayaan masing-masing dan bukan oleh pencatatan (perkawinan) semata-mata, karena lagi-lagi didalam Udang-Undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan tidak ada penegasan tentang pencatatan perkawinan, sehingga pencatatan secara administratif dinilai tidak memiliki pengaruh terhadap sah atau tidaknya perkawinan yang telah dilangsungkan (menurut agama atau kepercayaan masing-masing). Ada pun Fungsi dan kedudukan pencatatan perkawinan adalah untuk menjamin ketertiban hukum (legal order) yang berfungsi sebagai instrumen kepastian hukum, kemudahan hukum dan sebagai salah satu alat bukti perkawinan.

Bagi PNS, berangkat dari kepastian akan status pernikahan siri sebagai pernikahan yang sah, maka hal ini menjadi dasar penilaian suatu pernikahan siri yang telah dilangsungkan PNS merupakan pelanggaran atau tidak atas ketentuan-ketentuan yang terdapat didalam Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian Bagi PNS (Pasal 15) yang apabila terbukti akan berdampak pada penjatuhan saksi disiplin berat sesuai ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin PNS, seperti :

  1. Tidak memberitahukan perkawinan pertamanya selambat-lambatnya 1 tahun (Pasal 2);
  2. Perceraian tanpa ijin (bagi penggugat) atau tanpa surat keterangan (bagi tergugat) (Pasal 3 ayat 1);
  3. Beristeri lebih dari 1 (satu) tanpa ijin (Pasal 4 ayat 1);
  4. Melakukan hidup bersama diluar ikatan perkawinan yang sah (Pasal 14);
  5. Tidak melaporkan perceraian selambat-lambatnya 1 bulan (Pasal 15 ayat 1);
  6. Tidak melaporkan perkawinan II/ III/ IV selambat-lambatnya 1 tahun (Pasal 15 ayat 1);
  7. PNS wanita yang menjadi isteri II/ III/ IV dikenakan sanksi diberhentikan dengan hormat tidak atas permintaan sendiri (Pasal 4 ayat 2).

Sehingga bagi PNS yang melangsungkan pernikahan siri sekalipun, sesuai ketentuan yang berlaku, maka harus mengikuti ketentuan yang terdapat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian Bagi PNS seperti misalnya menikah pertama kali, II/III/IV, maka yang bersangkutan harus melaporkan pula atau apabila yang bersangkutan beristeri lebih dari seorang (secara siri) pun harus mendapatkan izin terlebih dahulu. Terlebih lagi bagi PNS wanita yang terbukti menjadi isteri II/III/IV dari seseorang. Hal ini dilakukan agar terhindar dari penjatuhan sanksi disiplin sebagaimana ketentuan Pasal 15 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian Bagi PNS.

Surat Edaran Menteri PAN&RB NO 1 Tahun 2021

Oleh : AYATULLAH (Analis SDM Aparatur)